Kerajinan Getah Nyatu
Kepulauan Nusantara dikenal dunia karena didiami oleh bermacam ragam
suku bangsa asli yang cukup heterogen. Kepulauan Nusantara dihuni oleh
ratusan suku bangsa asli Indonesia. Keragaman suku bangsa itu telah
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang kaya akan
budaya. Ketersediaan sumber daya alam yang cukup melimpah di tanah air
dipadukan dengan seni budaya yang sangat beragam telah menghasilkan
berbagai produk kerajinan bernuansa etnik yang sangat kaya nilai seni.
Salah satu kekayaan budaya itu adalah kerajinan getah kayu nyatu yang
berasal dari pohon kayu nyatu. Pohon nyatu sendiri merupakan tanaman
eksotis Kalimantan Tengah yang hanya tumbuh di dua wilayah tertentu di
provinsi tersebut, yaitu di Kabupaten Pangkalan Bun dan di Kecamatan
Bukit Tangkiling, Kota Palangkaraya.
Getah kayu nyatu selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat suku Dayak
di wilayah tersebut sebagai bahan baku untuk pembuatan kerajinan khas
suku Dayak, seperti berbagai bentuk perayu, patung masyarakat adat suku
Dayak dan berbagai bentuk kerajinan lainnya.
Kini kerajinan getah nyatu telah menjadi salah satu ciri khas provinsi
Kalimantan Tengah yang dikembangkan oleh masyarakat dengan dukungan
Pemda setempat menjadi barang souvenir yang sangat unik dan menarik dari
wilayah tersebut. Sejumlah kelompok usaha masyarakat adat suku Dayak
setempat kini mengusahakan kerajinan kayu nyatu tersebut dan telah
berkembang menjadi salah satu sektor usaha yang cukup menjanjikan bagi
perkembangan ekonomi daerah.
Salah seorang pengusaha kerajinan getah nyatu dari Palangkaraya yang
sudah berhasil mengembangkan kerajinan tersebut menjadi salah satu
produk kerajinan yang cukup dikenal masyarakat di tanah air hingga
mancanegara adalah Katutu Tulus Galing dengan kelompok usahanya yang
diberi nama Kahayan Jawed (Kahayan diambil dari nama salah satu sungai
di Kalteng, yaitu sungai Kahayan, sedangkan Jawed dalam bahasa Indonesia
berarti anyaman).
Menurut Katutu, pohon nyatu selama ini hanya ditemukan tumbuh di areal
berawa di Kabupaten Pangkalan Bun dan di Kecamatan Bukit Tangkiling,
Kalimantan Tengah. Tanaman yang memiliki pertumbuhan relatif cepat
tersebut selama ini tidak ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Dalam
kurun waktu hanya enam bulan tanaman nyatu bisa tumbuh hingga mencapai 8
meter. Umur enam bulan tersebut biasanya menjadi patokan bagi para
perajin getah kayu nyatu untuk memanen pohon dengan cara mengambil
getahnya.
Dalam proses untuk mendapatkan getah, kata Katutu, para perajin getah
nyatu biasanya menebang pohon nyatu. Kemudian batang pohon nyatu di
kuliti untuk diambil bagian kulitnya. Selanjutnya, kulit kayu nyatu itu
direbus di dalam air mendidih yang sebelumnya telah dicampur dengan
minyak tanah. Proses perebusan tersebut dilakukan untuk memisahkan
(mengekstrak) getah dari kulit kayu nyatu.
Dalam keadaan air rebusan yang masih mendidih, getah pohon nyatu yang
sudah terpisah dari kulit pohon itu kemudian diambil untuk selanjutnya
direbus kembali untuk memisahkan getah dari sisa-sisa minyak tanah.
Getah pohon nyatu yang sudah terpisah dari minyak tanah itu kemudian
dipilah-pilah untuk proses pewarnaan. Untuk memberikan warna warni pada
getah, Katutu dan para perajin getah nyatu di Kalteng biasanya
menggunakan bahan pewarna alami yang diambil dari tanaman asli di
Kalteng. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara merebus getah nyatu itu
bersama-sama dengan bahan tanaman sumber pewarnaan alam. Biasanya
pewarna alami yang dipakai terdiri dari empat jenis warna, yaitu hitam,
kuning, merah dan hijau.
Getah nyatu yang sudah diberi bahan pewarna alam itu kemudian diambil
dan dalam keadaan masih panas (dalam rebusan air mendidih) langsung
dibentuk dan dianyam menjadi berbagai bentuk kerajinan getah nyatu.
Proses pembentukan getah nyatu harus dilakukan dalam keadaan masih panas
karena dalam kondisi tersebut getah nyatu masih dalam keadaan meleleh
sehingga mudah dibentuk. Sedangkan kalau sudah dingin, getah nyatu sulit
dibentuk karena sudah berada dalam keadaan beku.
Menurut Katutu, kerajinan anyaman getah nyatu umumnya mengambil bentuk
perahu tradisional Dayak yang dilengkapi dengan awak dan berbagai
asesorisnya. Bentuk perahu tersebut menggambarkan cerita tersendiri yang
diambil dari cerita asli masyarakat suku Dayak di Kalteng. Sebagaimana
diketahui di Kalteng sendiri terdapat sejumlah suku Dayak, diantara-nya
Dayak Manyan, Kapuas, Bakumpai, Katingan, Kahayan dan Siak atau Ngaju.
Bentuk perahu yang biasanya dipergunakan dalam kerajinan anyaman getah
nyatu umumnya dicirikan dengan bentuk kepala naga dan kepala burung
antang (elang) yang terletak di bagian depan perahu. Perahu yang
mengambil bentuk kepala naga biasanya dipakai untuk menunjukkan perahu
perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah (memindahkan kepala leluhur
dalam agama Hindu Kaharingan), namun bentuk kepala naga pada perahu
perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah sedikit berbeda. Sementara
perahu yang mengambil bentuk kepala elang biasanya menggambarkan perahu
berburu.
Perahu perang berkepala naga juga memiliki posisi kepala naga yang
berbeda. Posisi kepala naga yang mendongak ke atas menggambarkan bahwa
perahu tersebut telah berhasil memenangkan peperangan. Posisi kepala
naga lurus menggambarkan perahu sedang menuju ke arah peperangan.
Sedangkan posisi kepala naga menunduk ke bawah menggambarkan perahu
sedang dalam perang.